Jumat, 13 Mei 2011

Menanjak Bukan Lagi Sebuah Momok.

Jurnal Evie Permata Sari


“Bu, berdoalah malam ini dan apapun jawaban Ibu besok akan Evie jalani, diijinkan atau tidak untuk bersepeda ke Jepara semuanya terserah pada Ibu, Evie akan lakukan apa yang akan Ibu sampaikan besok….”
Menerima Piagam Penghargaan dan pengalungan kain torso
dari Bupati Jepara Bapak Hendro Martojo 


Itulah sepenggal pembicaraan aku dan ibu ketika aku meminta ijin untuk bersepeda bersama 9 (Sembilan) Srikandi B2W dari Jakarta ke Jepara. Support yang aku butuhkan dari Ibu sangat ku perlukan dimana nantinya aku harus melintasi ratusan kilometer dengan mengayuh sepeda serta medan yg tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ini adalah pengalaman pertamaku melakukan touring bersepeda dengan Tim intinya 10 (sepuluh) orang perempuan.

Pada awalnya banyak yang menyangsikan kemampuanku untuk melakukan perjalanan ini, ada yang mengatakan “jalan raya bukan untuk perempuan dia tidak manusiawi”, “kurang kerjaan” dan lain sebagainya. Apalagi dibeberapa simulasi latihan jarak jauh, aku dua kali mengalami kecelakaan terjatuh dari sepeda dengan lebam-lebam dikaki kiri dan tergores krikil aspal di pipi kananku –aku mendapat julukan korban “KDRT” (Kecelakaan dalam Rute Turunan/Tanjakan) – itu semua tidak membuat aku patah semangat. Full support dari Tim yang luar biasa yang aku rasakan serta dari keluarga mendorong aku untuk tetap terlibat dalam Tim 10 Srikandi B2W Gowes ke Jepara.

Poligon Heist 0.3 kendaraan 10 Srikandi
Nerves mendekati Hari H
Sakit perut, berdebar-debar itu yang kurasakan menjelang persiapan pada hari keberangkatan tgl 13 April 2011. Semua kebutuhan sudah aku catat termasuk obat-obatan pribadiku, semua keluarga sudah aku hubungi dan memohon maaf bila terjadi sesuatu yg tidak diinginkan dijalan nanti. Beberapa kali aku hubungi ibu, baik melalui telpon maupun sms, rasanya seperti mau ke medan perang saja perasaanku saat itu, namun melihat dukungan dan semangat dari teman-teman dekat membuat aku menjadi tenang.

Menjelang keberangkatan akhirnya tiba juga, melaju bersama para Srikandi, bersepeda menuju Kantor Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KNPPA). Terdengar lagu-lagu perjuangan yang membuat kami memaknai bahwa misi yang kami bawa menuju Jepara adalah juga sebuah perjuangan dan semangat bagi kaum perempuan. Pesan-pesan yang disampaikan oleh Ibu Linda Amalia Sari, Menteri KNPPA bagaikan ibu bagi para Srikandi serta nasehat yg disampaikan oleh Om Toto Sugito selaku Ketua Umum B2W Indonesia menjadi semangat kami selama perjalanan menuju Jepara.

Dan dimulailah pengalaman perjalananku….
Etape pertama Jakarta-Purwakarta total jarak 110 km kami lalui. Aku belum menemukan ritme kayuhanku dengan teman-teman yang lain sehingga aku menjadi orang yang selalu tertinggal, namun aku tidak pernah sendirian, karena ada teman-teman lain dari komunitas pesepeda baik dari Tangerang, Jakarta maupun Bekasi yang menemani kami sampai perbatasan Karawang. Mereka selalu berada disebelah kanan dan belakangku untuk memberikan semangat padaku yang mulai kelelahan. Mendekati Cikarang, sepedaku mengalami masalah, kayuhannya begitu berat dan ketika dicek ternyata rem belakang menempel terus pada ban, sehingga aku harus ganti sepeda lain untuk meneruskan perjalanan, sementara Tim Teknis memperbaiki sepedaku (Terima Kasih buat Ulil ).

Panas mulai aku rasakan diawal perjalanan ini, lagi-lagi teman-teman selalu memberikan support terus serta mengingatkanku untuk tetap minum walau tetap saja aku tertinggal di belakang. Menjelang siang hari, kondisiku sudah mulai melemah, perutku mulai sakit karena PMS (Post Menstruation Syndrome) akhirnya aku hanya bisa selesaikan etape pertama ini di Karawang tempat makan siang, setelahnya aku harus masuk ambulance. Sedih juga perasaanku saat itu, membayangkan teman-teman berjuang melawan panas sementara aku mesti tiduran di ambulance. Namun aku bangga mempunyai Tim Srikandi, Pelatih dan Tim pendukung yang solid. Mereka semua membesarkan hatiku dan penuh perhatian, bisa bayangkan Mas Wang –Tim Logistik - yang selalu direpotkan dengan banyak permintaan logistik khusus buat kami perempuan semua, berusaha mencarikan minuman Kiranti buat ku (Terima kasih Mas Wang) dengan guyonannya yang selalu membuat kami tertawa. Juga Glen pelatih kami yang selalu memberikan semangat dan membesarkan hatiku, bahwa aku masih punya banyak hari lagi untuk melakukan perjalanan ini sehingga aku benar-benar merasa nyaman berada di ambulance sementara yang lainnya tetap melanjutkan bersepeda menuju Purwakarta. Kami semua sampai di penginapan lebih cepat 30 menit dari jadwal, bersamaan dengan itu hujan deras mengguyur kota Purwakarta.

Etape Kedua, keadaanku cukup sehat untuk melanjutkan kembali perjalanan etape kedua yaitu Purwakarta-Kadipaten (Sumedang) dengan jarak tempuh 120 Km. Rutinitas pagi mesti bangun jam 5.00 wib dan harus siap pukul 6.00 wib untuk melakukan sarapan, minum vitamin, cek tensi darah oleh Tim Dokter, pemanasan dan pukul 7.00 wib sudah siap mengayuh sepeda kembali. Kali ini perjalanan cukup lumayan pemandangannya serta banyak pohon rindang yang dilalui oleh kami, namun tetap saja kontur tanah pegunungan yang turun naik mesti kami lewati dan aku tetap kewalahan juga, apalagi aku masih belum bisa menemukan ritme kayuhanku dengan teman-teman sehingga aku masih tetap berada di belakang. Namun ketertinggalanku tidak membuat aku patah semangat, bahkan aku menikmati perjalananku dengan pemandangan yang ku lewati, persawahan, kebun tebu, melihat petani menggarap lahan, sesekali memandang puncak Gunung Ciremai yang indah tegak berdiri, seakan menyambut kedatangan kami didaerahnya.

Ada cerita lucu ketika aku harus melewati arah Kadipaten dengan jalan yang bergelombang panjangnya kurang lebih 20 Km. Beberapa teman-teman sudah melaju dengan kecepatannya masing-masing. Karena kontur tanah yang bergelombang sehingga aku bisa melihat dari kejauhan mereka sudah jauh di depan, sementara aku dan Tante Rifa menikmati perjalanan berdua sambil bercerita. Kami sengaja ngobrol sepanjang perjalanan bergelombang agar melupakan bahwa jalan ini membuat kami bosan sambil menyamakan ritme kecepatan kami berdua. Tidak terasa akhirnya selesai sudah kontur tanah bergelombang yang kami lalui, sedikit masih ngobrol aku mencoba untuk menambah kecepatanku sambil belajar juga bagaimana kalau di jalan yang datar. Aku menikmati laju sepedaku dengan kecepatan rata-rata 20 km/jam, semakin ringan bila di jalan datar seperti itu. Oupsss….. tiba-tiba aku tersadar Tante Rifa aku tinggal terlalu jauh, perasaan tadi masih nyambung obrolan kita dan ku tengok kebelakang ternyata aku sendirian (duhh maaf ya Tante Rifa..). Mau menunggu yang dibelakang sudah jauh 4 Km, sementara mau menyusul yang di depan aku sudah ketinggalan 8 Km ini aku ketahui dari David yang hilir mudik mengendarai motornya, akhirnya aku memutuskan melanjutkan perjalananku dan dipertengahan jalan aku menerima tawaran evakuasi dari Tim Logistik untuk sampai pada titik grouping dimana semua Tim berkumpul.

Sebetulnya jalur Kadipaten adalah jalur yang mendadak dipertengahan jalan Tim harus memutuskan. Setelah mendapat informasi dari beberapa teman-teman B2W di Sumedang dan konsultasi ke Jakarta bahwa jalur Subang-Sumedang bila dilalui oleh Tim Srikandi agak beresiko apalagi bila siang hari sering turun hujan pada kontur tanah yang berbukit cukup berbahaya. Akhirnya diputuskan memakai jalur tengah yaitu Kadipaten walau akan menambah jarak sejauh 40 km, tetapi cukup aman dan untuk perjalanan keesokan harinya menuju kota Cirebon justru menjadi lebih dekat sekitar 55 Km. Dan keputusan ini adalah keputusan yang tepat dan cepat, demi kenyamanan dan keselamatan semuanya, Glen memutuskan hal ini.

Hari kedua ini Tante Rini harus masuk ambulan seperti penyakit ku di hari pertama PMS (Post Menstruation Syndrome) tapi kelihatannya lebih parah, karena Ceuceu panggilan sehari-harinya, harus memakai oksigen dan diinfus. Sesampai dipenginapan, aku sekamar dengan Ceuceu dan Tante Meika, kami berdua menjaga dan mengingatkan makan agar besok pagi bisa pulih dan siap melakukan perjalanan kembali.

Etape ketiga, Kadipaten- Cirebon yang hanya berjarak 55 Km, dapat kami lalui kurang lebih 3 jam perjalanan. Ini adalah etape paling singkat dari enam etape yang kami lalui. Pukul 9.30 kami semua sudah sampai di Kota Cirebon bahkan teman-teman B2W Cirebon juga merasa kaget karena kami sampai sangat cepat sekali, sehingga kami mesti menunggu beberapa menit untuk memberikan kesempatan mereka menyiapkan penyambutan kami menuju kota Cirebon. Di Cirebon inilah kami beristirahat satu hari sambil menikmati Keraton Kanoman Cirebon dan sempat bertemu dengan Pangeran Patih salah satu dari keturunan Kasultanan Cirebon.

Etape keempat, Cirebon-Pekalongan. Ini merupakan etape terpanjang 136 km dan juga merupakan etape terpanas dengan suhu udara kisaran 31 derajat celcius dengan kondisi lalulintas yang padat dijalur Pantura. Namun pengalaman dietape ini adalah, teman-teman Ranger yang berjumlah 5 (lima) orang dari Tangerang sengaja datang ke Cirebon untuk menemani kami sampai ke Pekalongan kemudian diperbatasan Brebes ternyata kami disambut oleh kepala Dinas Perhubungan dan DLLAJR kota Brebes dialun-alun kota. Kami disuguhi buah-buahan dan pisang rebus serta minuman, dan disambut oleh banyak sekali komunitas sepeda. Disana sempat rehat sebentar sebelum dilepas oleh kepala Dinas Perhubungan kota Brebes. Sesuatu yang tidak kami duga dengan penyambutan yang luar biasa kepada kami, rasanya benar-benar menyalakan semangat kami. Apalagi sejak dari kota Cirebon, sudah mendapatkan pengawalan dari DLLAJR dan POLANTAS, sehingga perjalanan kami jauh lebih aman melintasi jalur pantura.

Namun panas menyengat yang membuat aku benar-benar kehabisan nafas sehingga selalu diingatkan untuk terus minum 10 menit sekali. Makanan dan minuman terus diberikan oleh Tim Logistik kepada kami, sembari mengayuh sepeda. Tidak disangka ternyata cukup lihai juga aku bisa menerima bike feeding dari mobil logistik, seperti atlet saja kami semua padahal selama simulasi latihan tidak pernah ada latihan bike feeding, dimana konsumsi makanan dan minuman diberikan dari mobil logistik sambil berjalan dan kita tetap mengayuh sepeda tanpa harus berhenti.

Perjalanan yang cukup melelahkan tetap saja selalu diselingi dengan candaan, baik dari Tim Logistik maupun dari Tim Srikandi. Ketika aku sudah kelelahan, mobil logistik melintas dan Mas Wang akan meneriakan pada kami, “mau pesen apaan…” kita semua akan berteriak, “pecel lele”, “rujakkkk”, “es campur”….. dan kami semua tertawa… hilang sesaat panasnya Pantura. Dan lagi-lagi sebelum melewati perbatasan kota Pekalongan, kami sudah ditunggu banyak sekali komunitas pesepeda yang akan mengantarkan kami memasuki kota Pekalongan, benar-benar hal yang diluar dugaan, begitu besarnya apresiasi masyarakat terhadap perjalanan para Tim Srikandi ini menuju Jepara, kami merasa tidak sendiri tetapi selalu ditemani dan disemangati oleh masyarakat yang daerahnya kami lintasi. Pukul 16.35 wib, dengan kecepatan rata-rata 22 km/jam, kami sampai di penginapan Pekalongan dengan penyambutan yang luar biasa dari komunitas sepeda yang berada di Pekalongan dan juga rekan-rekan media yang sudah berkumpul di sana. Perjalanan terpanas yang kami lintasi berakhir sudah dengan tepukan gemuruh dan jabatan hangat dari komunitas sepeda, serta kawalan dari teman-teman Ranger melupakan wajah-wajah kami yang telah terbakar matahari. Hasil pemeriksaaan dokter pada malam hari, tensi darah kami rata-rata mengalami kenaikan dibandingkan hasil pagi sebelum memulai perjalanan. Tetapi kami semua sampai dengan selamat dan tidak kurang suatu apapun dari semua Tim dan tak lupa pula setiap aku sampai atau menjelang keberangkatan dari satu etape ke etape lain pasti aku langsung mengabarkan ibuku, karena beliau sarat dengan doa-doa sepanjang perjalananku.

disambut warga dan murid sekolah
Etape kelima, Pekalongan-Semarang dengan jarak tempuh 97 Km dengan kontur jalan yang sangat berbeda dari semua etape yang dilalui akan banyak melewati tanjakan dan jalan yang berbukit, karena kami harus melewati daerah Alas Roban yang cukup terkenal. Membayangkan tanjakan perasaanku sudah ngilu karena mengingatkan ku pada jalur latihan ke bandung ketika melewati tanjakan Cariu. Di sana aku pernah terjatuh dan tergelincir dikrikil aspal yang mengenai pipi kananku. Hari itu, aku benar-benar membayangkan tanjakan yang nanti aku hadapi dan membuat aku ciut. Namun melihat semangat teman-teman Srikandi membesarkan hatiku kembali.

Perjalanan kembali dimulai dengan tetap mendapatkan pengawalan dari Polantas dan Dinas Perhubungan, mendekati daerah Batang kami dikagetkan dengan sekumpulan anak-anak sekolah serta guru-guru yang berdiri dipinggir jalan dan membawa spanduk “Selamat datang Srikandi B2W Gowes ke Jepara”, kejutan lagi bagi kami. Mereka berteriak melambaikan tangan dan memberikan kami semangat. Kemudian sampai di Batang, kami harus berhenti, karena Kapolres Batang serta pemda setempat ingin mengawal kami sampai perbatasan. Beberapa murid-murid SD serta guru-guru berkumpul membawa spanduk “Selamat datang Srikandi B2W Gowes ke Jepara” dan panggung kecil didirikan di pinggir jalan. Melihat ini semua, aku terharu dan menitikan airmata betapa perjalanan kami ini ternyata membawa begitu banyak semangat dan harapan, melihat murid-murid harapan bangsa ini begitu antusias menyambut kedatangan kami, tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengumpulkan semangat dari mereka agar aku bisa melintasi tanjakan nanti. Melanjutkan perjalanan dari Batang dengan dikawal oleh Polwan-polwan yang bersepeda serta banyak komunitas sepeda lainnya yang melepas perjalanan kami. Sepanjang melintasi perjalanan ke Semarang, banyak sekali ditemui anak-anak sekolah berkumpul di pinggir jalan menyambut kedatangan kami. Setiap bertemu dengan mereka aku seperti mengumpulkan sebuah kekuatan untuk dipakai melintasi tanjakan di Alas Roban, nama yang begitu melekat karena terkenal dengan jalan yang berbukit dan tikungan yang tajam.

Mulai menapaki tanjakan pertama, posisiku masih tetap dibelakang teman-teman Srikandi lainnya dan berusaha mencoba menikmati perjalanan dengan hati yang ketar-ketir. Untung, Glen pelatih dan sahabat kami yang selalu berada didekat ku terus membantu aku melewati tanjakan demi tanjakan sembari memberikan strategi-strategi mengayuh yang benar dengan memainkan roda gigi depan dan belakang. Satu persatu tanjakan dan turunan berhasil aku lalui, namun masih banyak lagi di depan mataku yang harus aku lewati. Bila sudah berjalan diatas tanjakan, kadang aku tidak berani melihat kedepan lebih sering aku melihat kebawah walau sesekali aku melihat kedepan juga.

Pada titik putus asaku melewati tanjakan lainnya, aku hanya berdoa dan selalu membayangkan ibu dan terngiang ditelingaku “tetap semangat”, terus ku kayuh pelan-pelan sepedaku sambil terus menatap ke bawah hingga mendekati puncak, tiba-tiba terdengar teriakan dan gemuruh tepuk tangan memberikan aku semangat, “hayoo terus..”, “sedikit lagi..”, “hayoo bisa..” aku seperti bermimpi dan kulihat ke depan ternyata diujung sana begitu banyak anak-anak sekolah yang berkumpul menyambut kami, dan aku seperti terpacu untuk bisa sampai ke puncak jalan dengan perasaan yang ringan. Sesampai diatas mereka semua bertepuk tangan dan menyambutku, aku dibuat terharu dan menangis lagi, ahh untung kacamata pelindungku tidak memperlihatkan kepada mereka betapa aku sangat terharu sekali atas semangat mereka. Dan sejak itu, ketika aku melintasi tanjakan yang tinggal sedikit lagi, rasanya tidak terasa menakutkan dan bukan merupakan momok bagiku, karena semangat dari anak-anak sekolah seperti memberikan aku kekuatan untuk mencapai puncak dan menikmati bonus turunan. Ditambah lagi, aku banyak belajar dari Glen bagaimana aku harus mengatur roda gigi ketika melewati tanjakan ataupun turunan, dan aku menikmati sampai melewati turunan Alas Roban dan berakhir di kota Kendal untuk makan siang dan istirahat bersama para Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal, Kapolres Kendal serta komunitas sepeda disana.

Lagi-lagi penyambutan oleh komunitas sepeda yang tidak pernah berhenti dari satu kota ke kota lain, sebelum perbatasan Semarang, kami sudah ditunggu oleh teman-teman komunitas sepeda dari Semarang untuk mendampingi kami menuju kota Semarang. Sesampai di Balaikota Semarang tepat pukul 15.30 wib, lebih cepat satu setengah jam dari jadwal semula. Kami berpelukan semua, karena berhasil melintasi tanjakan Alas Roban yang terkenal dengan selamat semua. Etape ini adalah perjalanan yang begitu mengesankan, aku bisa mengalahkan diriku sendiri, mengatasi ketakutanku atas tanjakan dan mengajarkan aku arti solidaritas Tim. Satu Etape lagi yang harus kami lalui menuju Jepara.

Etape keenam, Semarang-Jepara. Ini adalah etape terakhir dengan jarak 73 Km. Diawali dengan pelepasan oleh Walikota Semarang di Balaikota, Tim Srikandi memulai perjalanan menuju kota akhir yaitu Jepara. Sudah beberapa hari ini, ritme kecepatanku sudah bisa menyampai teman-teman Srikandi, kadang aku mulai berada dibarisan paling depan namun kalau tidak tahan dengan tekanan angin dari depan, aku akan mundur berada dibelakang salah seorang Srikandi agar memecah arah angin sehingga kayuhanku tidak terasa berat, ini juga strategi yang aku pelajari selama perjalanan dengan teman-teman. Relatif perjalanan menuju Jepara tidak banyak kendala, terkadang kami suka tertawa ketika ada yang berteriak “awas sepeda ria mau lewat”, atau juga “ada sepeda fun bike”. Terkadang teriakan patroli polisi membuat kami agak bingung ketika mereka mengatur lalulintas agar para pengendara motor dan mobil tidak melintasi jalur kiri, dari pengeras suara mobil patroli terdengar pak polisi mengatur arah jalan raya, “tolong mobil dan sepeda tetap berada di jalur kanan..”, pertama-tama kami bingung kenapa sepeda juga mesti ikutan ke kanan, sementara mobil patroli di depan yang arahnya kami harus ikuti tetap berada di sebelah kiri. Baru kami mengerti ketika bapak Polisi mengatakan lagi, “mobil dan sepeda tetap berada di jalur kanan, sepeda onthel akan lewat”…. Ohh rupanya diwilayah Jawa Tengah kalau motor akan disebut dengan Sepeda Motor dan kalau sepeda di sebut Onthel… jadi kami suka tertawa ketika banyak yang menyambut kami dengan teriakan sepeda onthel… karena kalau di Jakarta yang di sebut sepeda onthel adalah sepeda kuno/antik.

Kantor Walikota Semarang
Pati Lurus, Jepara Kiri
Aku lihat papan penunjuk arah yang telah menyebutkan arah Jepara. Melihat nama Jepara di papan penunjuk arah sudah membuat aku merinding. Bagaimana tidak, beberapa jam lagi kami akan sampai di Bumi Pertiwi tempat kelahiran R.A. Kartini. Aku melihat semangat teman-teman Srikandi begitu menggelora sehingga kecepatan kayuhannya hampir rata-rata 21 Km/jam. Aku juga begitu semangat ingin cepat sampai di Jepara yang diperkirakan awalnya kami akan sampai pada pukul 4 sore. Namun pada pukul 9.30 wib kami sudah sampai di daerah perbatasan Jepara, kira-kira 20 km lagi dari Jepara. Rencananya kami harus berhenti untuk makan siang disana sebelum melanjutkan perjalanan ke Jepara, namun apadaya kami sampai jauh lebih pagi dari yang diperkirakan, sehingga Tim memutuskan untuk melanjutkan saja sampai finish di kota Jepara.

Sejak dari etape ketiga di Cirebon, Tim selalu sampai lebih awal dari jadwal yang telah direncanakan semula. Semuanya seperti diberikan kekuatan yang luar biasa dalam mengayuh sepedanya hingga tidak terasa begitu cepat dari waktu yang telah ditentukan. Gerbang kota Jepara sudah mulai terlihat dan sebagian berteriak “JEPARA…. “, dan tepat pukul 11.20 wib, kami tiba di Musium Kartini. Pecah sudah tangis dan haru melingkupi kami semua sembari berpelukan pada semua Tim. Tak lupa doa syukur langsung kami hantarkan untuk Sang Khalik, yang selalu melindungi perjalanan kami dari awal hingga akhir. Ucapan selamat dan jabatan hangat dari semua teman-teman komunitas sepeda dan para wartawan menyambut haru. Kami berhasil melewati tiap rintangan dengan tetap solid dan penuh semangat. Aku langsung menelpon ibu dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga buat support dan doanya selama ini, aku menangis diujung telepon mendengar suara ibu. Aku yang selama latihan sering terjatuh dan menjadi korban “KDRT”, namun selama perjalanan dari Jakarta menuju Jepara tidak sedikitpun tergores luka.

Di Musium Kartini
Pengalungan kain Torso dan pemberian penghargaan dari Bapak Bupati adalah hadiah terindah buat Ibu. Jepara, kota kecil yang apik dan bersih penuh dengan semangat Kartini tidak akan pernah aku lupakan, tidak akan pernah. Karena disana ada jiwaku yang tumbuh membesar bersama pohon jati di SD SEMAI dengan sahabat-sahabat kecilku Rama dan Meyla yang merawatnya.

605 Km, “ ini perjalanan panjang paling Gila “ Kompas, 20 April 2011

Jakarta, 29 April 2011