Selasa, 31 Maret 2020

Corona Virus Syekh Puji


Berita tentang Covid19 ini sangat santer hilir mudik dalam setiap media sosial yang aku punya. Apalagi melihat data-data yang dikeluarkan oleh Tim Satgas Covid-19 membuat kita cukup tercengang. Mengapa ?, karena dalam kurun waktu yang sangat singkat total kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 1.528 kasus, tersebar di 32 provinsi dan yang berakhir dengan meninggal dunia ada 136 orang. Ini data per-31 Maret 2020. Namun dalam semua berita tentang itu, ada satu berita yang luput dari keramaian banyak orang. Ya, Syekh Puji kembali menikah dengan bocah yang baru berusia 7 tahun.


Tentunya kita masih ingat, berita yang cukup menggemparkan dikalangan pemerhati anak. Pemimpin pondok pesantren Miftahul Jannah, Desa Bedono, Kecamatan Jambu, Semarang yang bernama lengkap Pujiono Cahyo Widianto atau lebih dikenal sebagai Syekh Puji, mengaku menikahi anak berusia 12 tahun sebagai isteri kedua di tahun 2008. Kini kembali dia membikin ulah, dikabarkan menikahi anak berusia 7 tahun pada tahun 2016.

Kita ketahui bahwa Indonesia masih marak dengan perkawinan usia anak. Angka perkawinan usia anak di Indonesia masih menempati posisi tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Padahal perkawinan usia anak itu selalu mendatangkan dampak buruk bagi anak, mereka kehilangan hak-haknya dan rentan mengalami kekerasan. 

Data SUSENAS (Survei Ekonomi Nasional, 2016) menunjukkan bahwa 1 dari 9 anak perempuan menikah sebelum usia 18 atau sebanyak 375 anak perempuan menikah setiap hari. Angka ini menempatkan Indonesia pada urutan ke-8 dunia dengan kasus perkawinan anak tertinggi. Sehingga sampai saat ini pencapaian Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Berbasis Gender (IPG) masih sangat rendah. Belum lagi bila kita melihat pada Dampak Global* seperti;  *https://www.unicef.org/indonesia/media/2826/file/Perkawinan-Anak-Factsheet-2020.pdf  
·      Terjadi komplikasi pada saat hamil dan melahirkan anak adalah penyebab utama kematian perempuan berumur 15 sampai 19* (*WHO. Global Health  Estimates (GHE), 2016)
·      Bayi yang lahir dari ibu di bawah 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun.* (*UNICEF Indonesia, Maternal and Newborn Health Disparities, 2017: https://data.unicef.org/wp-content /uploads/country_profiles/Indonesia/country%20 profile_IDN.pdf ) 
·      Anak perempuan yang menikah lebih rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga* (*Kidman, Rachel, ‘Child marriage and intimate partner violence: a comparative study of 34 countries’, International Journal of Epidemiology, 12 October 2016, pp. 1-14)

Sebab seperti diketahui, tingginya perkawinan anak berkorelasi dengan tingginya kematian ibu dan anak, stunting, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, drop out sekolah, pekerja anak, serta kemiskinan. Kelompok anak utamanya anak perempuan menjadi yang paling terdampak ketika terjadinya perkawinan anak.

Dalam kasus Pujiono ini, dia menjadi penyumbang tingginya angka perkawinan anak. Bagaimana tidak, di tahun 2008, ia sudah pernah menikahi anak usia 12 tahun, hal itu menyebabkan Syekh Puji ditetapkan sebagai tersangka pada Maret 2009 karena melanggar UU Perlindungan Anak. Ia lantas dipenjara dan baru pada tahun 2012 Syekh Puji mendapatkan izin poligami ketika korban telah berusia 16 tahun. Dan kini kembali mengulang perbuatannya dengan menikahi anak usia 7 tahun di 2016 tapi baru dilaporkan ke Polda Jateng pada tahun 2020 oleh keluarganya.

Dalam sebuah artikel berita yang saya baca, diketahui Syekh Puji dilaporkan oleh Wahyu Dwi Prasetyanto, Apri Cahya Widianto serta Joko Lelono, ketiga Pelapor tersebut adalah merupakan keluarga dari Syekh Puji atau nama aslinya Purnomo Cahyo Widiyanto (terlapor-red) sendiri dengan Pasal 26 Jo Ayat (1) huruf (c) Pasal 66 Jo. Pasal 59 Jo. Ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2004 Tentang perubahan pertama atas Undand-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kasus Tindak Pidana Pasal 76 Jo. Pasal 76 C, Jo. Pasal 82 ayat (1), (2) dan (3) UU RI No. 32 tahun 2014 dan tentang perubahan pertama dan atau UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Mabes Polri. Wahyu mewakili keluarga besar Syekh Puji mengatakan, menolak langkah Syekh Puji menikahi anak di bawah umur.

Sebagai orang yang selalu bergumul dengan isu-isu kekerasan terhadap anak, tentunya berita kecil diantara berita Covid 19 telah membuat kegeraman tersendiri. Baru saja kita ‘bergembira’ dengan lahirnya Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terkait kenaikan batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan sebagai langkah awal untuk menekan angka perkawinan anak. Belum lagi memikirkan langkah selanjutnya agar dapat kolaborasi dengan multipihak untuk sosialisasi kebijakan tersebut secara menyeluruh, muncul lagi kasus baru.

Disalah satu media online menuliskan bahwa mereka telah melakukan wawancara eksklusif dengan Syekh Puji. Dalam wawancara tersebut Syekh Puji mengatakan,

"Aku ini memang sukanya yang kecil,"

 Alhasil unggahan itu pun memicu reaksi geram netizen.

"Yang kek gini kenapa ga kena corona sih?,"



Tangerang, 1 April 2020.




Link berita:

2 komentar:

  1. Pusing aku baca tentang orang ini kak. Corona juga gak bakal mau ngenain dia kali, saking udah nggak ada levelnya lagi itu manusia di dunia. Hipokrit kayak gini anehnya masih punya pengikut aja. Wis emosi thok aku!

    BalasHapus
  2. Sampai saat ini berita dan kasus perkawinan anak juga masih terus ada kak

    BalasHapus

Selamat datang... silahkan melihat-lihat blog yang sederhana ini..
salam